Presiden Jokowi benar ketika
mengatakan bahwa bangsa ini membutuhkan sebuah REVOLUSI MENTAL. Berbagai
ketimpangan dalam hampir semua segi kehidupan bangsa ini. Hampir tidak ada yang
memuaskan. Korupsi, diskriminasi, manipulasi, pelecehan seksual, kekerasan,
hanyalah beberapa fenomena eviden saat ini. Semua komponen bangsa, aparat
pemerintah, rakyat, dan bahkan media sepertinya tidak ada yang mau ketinggalan
untuk ambil bagian dalam gangguan mental akut ini. Seolah, semuanya sepakat
untuk merasakan bagaimana nikmatnya bermental rusak demi tercapainya
kepentingan dan nafsu pribadi atau kelompoknya.
Kerusakan mental seolah-olah
dijadikan sebagai akibat dari sistem pemerintahan yang kurang bagus, hukum
positif yang kurang tegas, pengawasan dari instansi negara ataupun agama yang
kurang melekat, atau karena tingginya tuntutan hidup, namun terutama karena
mental aparatur dan rakyat yang tidak terpuji. Kerusakan mental tidak akan
pernah dapat diatasi dengan memperbaiki sistem pengawasan, memperberat hukuman,
atau memperbaiki kesejahteraan dengan upah yang layak. Selama mental masih
rusak, sistem sebaik apa pun, pengawasan seketat bagaimana pun, upah setinggi
langit, atau hukum sekeras baja, maka itu hanyalah sebuah kesia-siaan belaka.
Mungkin bisa sedikit meredam untuk sementara waktu. Namun, fenomena-fenomena di
atas akan terus menjadi bahaya laten yang mengancam bangsa ini.
Revolusi mental pertama-tama menuntut
perubahan cara berpikir dan cara bersikap atau bertindak. Keduanya harus
menjadi satu kesatuan dan tidak boleh terlepas.
Pada tahap pertama, orang tentu mesti dapat berpikir benar, dan kemudian
harus diikuti dengan tindakan yang benar. Yang dimaksud dengan berpikir
benar pertama-tama bukanlah yang berkaitan dengan kemampuan intelektual atau
teknis, tetapi terutama yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan moral
dan etika.
Mental yang baik hanya akan tercipta
bila orang berpikir benar dan bertindak benar. Berpikir
benar saja tidak cukup, sebab berpikir saja tanpa tindakan nyata tidak akan
membawa manfaat. Demikian pun, bila hanya tindakan yang benar tanpa dilandasi
cara berpikir yang benar, maka tindakan tersebut hanyalah sebuah kebetulan
semata yang bisa berubah-ubah sesuai dengan mood si pelaku. Sebagai rational
being, pikiran yang benar harus menjadi dasar bagi tindakan yang benar.
Problem mental bangsa ini justru
terjadi karena adanya kesenjangan antara pikiran dan tindakan. Apa yang ada di dalam pikiran tidak diimplementasikan ke dalam
tindakan. Sudah banyak sekali, bahkan jauh lebih banyak, orang yang dapat
berpikir benar dibandingkan yang tidak dapat berpikir benar. Bahkan setiap
pribadi yang sehat semestinya telah memiliki kapasitas kodrati (bawaan)
untuk menentukan mana yang benar dan mana yang baik, serta mana yang tidak
baik. Setiap pribadi yang sehat, termasuk golongan literasi (mampu membaca
dan menulis atau melek aksara), tentu sadar bahwa mencuri (korupsi)
itu tidak baik. Setiap manusia dilengkapi dengan kapasitas mental, atau yang
dalam bahasa agama disebut suara hati/hati nurani, yang menuntun dan
mengarahkannya untuk menentukan mana yang benar dan tidak benar. Tetapi
sekali lagi, problem utamanya bukan pada ketidakmampuan berpikir benar, tetapi
ketidakmampuan mengimplementasikan pikiran yang benar tersebut ke dalam
tindakan yang benar.
Sebagai ilustrasi, setiap manusia
Indonesia, termasuk koruptor kelas kakap, ketika ditanya apakah korupsi itu
baik, saya yakin hampir seratus persen akan kompak menjawab bahwa korupsi itu
tidak baik. Lalu mengapa masih korupsi, kalau mengetahui bahwa itu tidak baik
dan bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama? Mengapa pengetahuan yang
benar bahwa korupsi itu tidak baik tidak diikuti dengan tindakan yang benar
untuk tidak korupsi?
Plato, seorang pemikir Yunani kuno,
menyebutkan ada tiga daya alami yang mempengaruhi manusia: akal budi, emosi,
dan hawa nafsu. Kebajikan atau keputusan yang benar
hanya dapat tercapai apabila akal budi mampu mengekang emosi dan hawa nafsu.
Ketika akal budi mampu mengekang hawa nafsu maka akan timbul kebajikan mawas
diri (temperance). Orang yang mawas diri adalah orang yang dapat menjaga
harga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang rendah. Ketika akal budi dapat
mengekang emosi, maka akan muncul keberanian dan semangat (courage) atau
passion dalam menjalankan aktivitasnya. Berkaitan dengan emosi yang tidak
terkontrol, ada sebuah adagium: “yang berawal dengan kemarahan, akan
berakhir dengan rasa malu”. Ketika akal budi mampu mengontrol emosi dan
hawa nafsu, maka akan muncul kebijaksanaan (wisdom). Orang yang
bijaksana adalah orang yang mampu mengambil keputusan-keputusan tepat dalam
setiap situasi. Selain tiga kebajikan tersebut, masih ada kebajikan terakhir,
yaitu keadilan (justice). Manusia dapat berbuat adil apabila ia mampu
mengatur dan mengolah ketiga daya alami: akal budi, emosi, dan hawa nafsu
secara baik. Manusia tidak akan pernah dapat berbuat adil terhadap sesamanya
selama masih dikuasai oleh emosi dan hawa nafsu.
Selain tiga daya alami yang
disebutkan Plato, mungkin bisa kita tambahkan hati nurani atau suara hati.
Suara hati dapat menjadi pemandu yang baik bagi akal budi, terutama ketika akal
budi mulai kehilangan kontaknya dengan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Hati
nurani menjadikan keputusan akal budi, bukan saja lebih beradab, tetapi juga
dapat menyelaraskannya dengan ajaran agama dan moral seseorang.
Dari pemikiran Plato tersebut,
pertanyaan tentang kesenjangan berpikir benar dan bertindak benar bisa terjawab
secara singkat dan sederhana: akal budi manusia Indonesia masih dikuasai
emosi dan hawa nafsu. Problemnya, insting kingdom animalia masih amat kuat
dan dominan dalam pengambilan keputusan. Nafsu pribadi dan kelompok, emosi (rasa
suka tidak suka, perasaan sesuku, seagama, seras) lebih sering menang dan
dapat meredam kemampuan berpikir baik dan benar dalam mempengaruhi tindakan.
Tidak heran, meski jawabannya singkat dan sederhana, namun pemecahannya terasa
begitu rumit untuk bangsa ini.
Revolusi Mental ala Plato berarti
mengembalikan dominasi akal budi dan hati nurani atas nafsu dan emosi. Revolusi
Mental pada tempat pertama harus ditujukan pada diri sendiri, yaitu dengan
mempertanyakan secara terus menerus keselarasan antara pikiran dan tindakan.
Apabila terjadi ketidakselarasan antara keduanya, maka sudah saatnya untuk
mulai mengolah dan mengontrol emosi dan hawa nafsu. Ketika seseorang merasa
memiliki harga diri untuk tidak melakukan hal-hal kotor dan keji (korupsi,
manipulasi, diskriminasi, dll), atau keputusannya adil dan bijaksana tanpa
didasari kepentingan emosional tertentu, maka selamat! Anda termasuk
orang-orang bermental baik di negeri ini.
Baca: ILMU BERSIKAP POSITIF
Salam Sejahtera & Sukses Selalu!
Drs. Johanes Budi Walujo
HP: 0811.2332.777
WA: 081.809.271.777
BB: 28C2CEC2 / 52B90B35
Facebook: Johanes Budi Walujo
Instagram: johanes_budi_walujo
Twitter: @johanesbudi_w
Email: johanesbudiwalujo@gmail.com
Website: SEMANGAT - Kampus Kehidupan